TTM Periode 20 - 26 September

Hallo teman-teman semua,

Ketemu lagi di hari Kamis dengan saya, tim Tema Tantangan Menulis yang selalu kita tunggu-tunggu.

TTM minggu lalu ini temanya terdengar rumit: Hidup Bersama Dengan Damai. Persoalan menjaga perdamaian terasa sebagai urusan negara dibandingkan urusan kita. Padahal, perdamaian itu dimulai di rumah lho.




Meskipun peserta TTM minggu lalu tidak banyak, tetapi tulisan mereka semua super berkualitas! Tema yang sama namun ditampilkan dengan pendekatan yang sangat beragam. Perdamaian itu bukan urusan PBB belaka, tapi bisa juga menyangkut berdamai dengan diri sendiri, atau hubungan bersaudara di dalam keluarga.


Daftar Peserta

Berikut daftar peserta TTM Hidup Bersama Dengan Damai. Yuk kita kunjungi tulisan para peserta, dan belajar banyak dari pemikiran mereka tentang perdamaian:


  1. Satwika Heniono

Hati yang Damai Adalah Koentji

https://docs.google.com/document/d/1i8CqEihtylR4TGpVNVxPDAxk41SMQyP2ndqmHPGPEMM/edit


  1. Amalia Meini

Hidup Damai bersama Mertua

https://docs.google.com/document/d/1ue0N_kPd1fQ6cvc7Xsjku49M3U703El9Mvm5cKD_vrA/edit


  1. Elsa Mur

7 Cara Komunikasi Asertif Agar Bisa Hidup Damai Luar Dalam

https://bundosyafiq.wordpress.com/2021/09/25/7-cara-komunikasi-asertif-agar-bisa-hidup-damai-luar-dalam/


  1. Rein Hudasediyani

Atur, Tenang dan Kerjakan

https://www.facebook.com/rein.hudasediyani/posts/10221488721029078


  1. Risna

Perdamaian Itu Dilakukan

https://blog.compactbyte.com/2021/09/26/perdamaian-itu-dilakukan/


  1. Irene Cynthia

Mulutmu Harimaumu

https://randomfootnote.wordpress.com/2021/09/26/mulutmu-harimaumu/


  1. Meigita Nur Sukma

Berdamai dengan Perokok Aktif

https://www.facebook.com/mei.tharista/posts/4345240738888279



Tulisan pilihan

Tulisan pemenang minggu ini adalah tulisannya mbak Amalia Meini, yang mengalami persoalan yang umum dihadapi oleh para ibu - berdamai dengan mertua. Sebagai anak dan menantu yang perlu hormat kepada mertua, dan di saat yang sama perlu juga menemukan bentuk keluarga mereka sendiri.



Hidup Damai Bersama Mertua


Awal Cerita


Ketika awal menikah dulu, saya tinggal satu atap bersama mertua. Sempat ada beberapa orang yang mempertanyakan keputusan saya, tapi (dulu) saya berpikir, kenapa tidak? 


Saya sempat bertanya kepada calon suami waktu itu. Jawaban beliau, "Ibu saya adalah seorang guru BK. InsyaAllah beliau punya pemahaman mengenai permasalahan psikologis"


Dan memang, pada awal-awal kehidupan pernikahan kami, hampir tidak ada permasalahan yang berarti antara saya dan Mama Mertua (Mamer). Dugaan saya, mungkin selain karena beliau sedikit banyak paham tentang ilmu psikologi, kondisi ini juga terjadi karena Mamer super sibuk dengan urusannya di sekolah.


Mamer adalah sosok yang sangat berdedikasi dengan pekerjaannya. Selain menjalankan amanah sebagai guru BK, beliau juga diberi amanah sebagai wakil kepala sekolah. Beliau tetap pergi ke sekolah walaupun hari tersebut adalah hari Sabtu dan Minggu, demi bisa mendampingi kegiatan murid-muridnya


Jadi mungkin, karena jarang bertemu, maka relasi kami pun terasa baik-baik saja



Awal Mula Konflik


Alhamdulillah, 6 bulan pasca resepsi Allah menitipkan amanahNya di dalam rahim saya. Sembilan bulan kemudian, sesosok bayi kecil pun lahir


Saya memilih untuk melahirkan di tempat mertua. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan saya adalah:

  • Alasan ekonomi (karena kami tinggal di Sampit, sementara orang tua saya tinggal di Bali yang jaraknya 2x perjalanan naik pesawat)
  • Keinginan untuk melewati momen kelahiran bersama suami
  • Pengalaman sebelumnya yang baik-baik saja tinggal bersama mertua

Kelahiran seorang bayi tidak hanya melahirkan sesosok manusia baru, tetapi juga melahirkan peran-peran baru bagi orang-orang di sekitarnya. Saya dan suami adalah anak sulung di dalam masing-masing keluarga kami. Jadi, pengalaman ini adalah pengalaman perdana bagi semua orang


Ketika kami semua sedang belajar dan beradaptasi dengan peran masing-masing, pada saat inilah sering terjadi benturan, terutama antara saya dengan Mamer



Suasana Konflik


Sebagai calon ibu baru, tentu saya sangat bersemangat untuk mempelajari hal-hal terkini terkait pengasuhan bayi dan mencoba menerapkan hal tersebut kepada bayi saya. Namun karena pengasuhan dilakukan di dalam rumah Mamer, beliau juga ingin melakukan pengasuhan berdasarkan pengetahuan yang beliau ketahui


Maka terjadilah berbagai perdebatan ala netizen di sosmed: bayi dibedong vs bayi tidak dibedong, bayi dipakaikan bedak vs bayi tidak dipakaikan bedak, gendong jarik samping vs gendong jarik M-shape, dan sebagainya. 


Kalau perbedaan cara mengurus bayi antara saya dan Mamer dibuat list, mungkin akan jadi panjang sekali list-nya


Ya begitulah. Ternyata gap pengetahuan itu nyata adanya dan tidak semua orang siap menerima pengetahuan terbaru. Padahal pengetahuan yang tidak update itu bisa membahayakan. Contoh nyata yang saya alami, ketika bayi saya dipaksa dipakaikan bedak, seluruh tubuhnya jadi bruntus kemerahan akibat alergi


Saya selalu berusaha untuk berbagi pengetahuan terbaru mengenai pengasuhan bayi kepada Mamer. Saya berusaha memberi tahu beliau dengan cara sebaik mungkin. Pada kasus penggunaan bedak bayi, saya telah berusaha memberitahukan kepada Mamer tentang bahaya penggunaan bedak pada bayi. Tapi beliau tidak menggubris. Beliau baru menghentikan pemakaian bedak setelah melihat bayi saya yang sakit kulitnya. Sungguh saya merasa sakit hati melihat anak saya harus melewati penderitaan akibat hal yang sesungguhnya bisa dicegah  


Di sisi lain, Mamer merasa tersinggung ketika saya menolak untuk melakukan beberapa saran dari beliau. Beliau menceritakan hal ini kepada adik ipar saya dan kemudian ia menceritakannya kepada saya. Adik ipar saya menyarankan untuk menuruti saja saran dari Mamer. Oh, ya jelas saya tidak setuju. Berkaca dari pengalaman bedak itu, saya memiliki alasan kuat mengapa saran pengasuhan dari Mamer tidak serta merta bisa diterapkan kepada bayi saya


Resolusi Konflik


Pengalaman tinggal di rumah Mamer selama empat bulan pasca melahirkan adalah pengalaman yang sangat buruk. Tiada hari yang saya lewati tanpa menangis. Saya merasa sangat tidak bahagia ketika mengurus bayi di rumah Mamer


Pada satu titik, akhirnya saya merasa tidak tahan lagi dan mendesak suami untuk segera pindah dari rumah Mamer. Padahal saat itu kondisi ekonomi kami sedang sulit. Tapi saya tidak peduli. Kami harus segera pindah, karena kondisi ini sudah sangat tidak baik untuk kesehatan jiwa saya


Alhamdulillah, setelah mencari ke sana kemari, kami bisa mendapatkan barak (tempat kos) dengan kondisi ventilasi dan bangunan yang cukup baik, serta harga sewa yang terjangkau. Saya senang sekali akhirnya bisa bebas menerapkan pola pengasuhan ala saya sendiri kepada bayi. 


Jarak fisik yang ada antara saya dan Mamer membuat saya bisa berpikir jernih tentang konflik kami. Setelah direnungi dengan hati yang tenang, saya menyadari bahwa konflik antara saya dan Mamer adalah akibat gegar budaya


Saya lahir dan tumbuh besar di lingkungan perkotaan. Sejak kecil, saya sudah terbiasa untuk berpikir dan bertindak rasional. Budaya pengasuhan dalam keluarga saya cukup demokratis. Di dalam keluarga saya, seorang anak sangat boleh untuk menyampaikan ketidaksetujuannya kepada orang tua dan orang tua pun tidak sungkan untuk meminta maaf jika ternyata mereka keliru


Budaya pengasuhan keluarga saya jauh berbeda dengan budaya pengasuhan keluarga suami. Keluarga suami adalah keluarga ala kota kecil yang masih kental dengan berbagai adat, ritual dan mitos. Di dalam keluarga suami, penghormatan terhadap orang tua adalah hal yang utama. Orang tua adalah sosok yang harus dimuliakan, dipatuhi dan tidak boleh disalahkan


Kekecewaan Mamer ketika saya menolak beberapa saran beliau adalah wajar. Selama ini anak-anaknya selalu mengikuti omongan beliau. Tapi tau-tau, ketika beliau memberikan saran kepada saya, malah ditolak. Sambil saya kasih kuliah tentang ilmu parenting terbaru pula, hehehe


Sementara itu, kekecewaan saya kepada Mamer adalah karena beliau tidak mau meminta maaf dan tidak mengakui beberapa kesalahan dari saran beliau. Tapi yaa memang ga realistis juga ekspektasi ini karena di keluarga suami tidak ada budaya orang tua yang meminta maaf kepada anaknya


Alhamdulillah, setelah tinggal terpisah, relasi saya dan Mamer semakin membaik hingga kini


Hikmah yang Bisa Dipetik


Alhamdulillah, bisa selesai juga mengetik cerita yang penuh drama ini. Hikmah yang saya ambil dari pengalaman ini adalah ketika telah menikah maka bersegeralah mencari tempat baru untuk keluarga kecil kita. Tidak masalah jika harus menyewa kos-kosan sekali pun. Keleluasaan dalam mengatur keluarga adalah hal penting bagi setiap pasangan suami istri


Mengutip sedikit kisah hidup perjalanan Pak Dodik dan Bu Septi Peni:

"Ketika usia keluarga baru kita masih muda, maka menjauhlah baik dari mertua dan orang tua, sehingga keluarga kecil kita bisa tumbuh bersama dan menguat. Ketika orang tua dan mertua sudah lemah, mendekatlah"


Penutup

Sangat menyentuh ya sharing dari Mbak Amalia ini. Jangan lupa kunjungi tulisan lainnya, dan nantikan saya di TTM berikutnya!

Penulis: Irene Cynthia