Begitulah rupa buku. Mereka membuat kamu bepergian tanpa menggerakkan kaki 
(Jhumpa Lahiri—penulis India)

Saya rasa pernyataan Jhumpa Lahiri ini mewakili bagaimana suasana kegiatan diskusi daring Pertemuan Klub Buku KLIP pada hari Rabu 28 Februari 2023 sore itu.

Saya seolah-olah menjelajahi ruang dan waktu. Dimulai dari negeri Taiwan dengan kisah tentang anak-anak kecil terluka dan mengaduh, kemudian ke negeri Amerika dengan cerita-cerita jenaka Tom Sawyer yang unik dan sederhana, lalu kembali ke negeri sendiri di masa lampau yang menuturkan tentang Enrique dari Maluku, hingga ke Toraja dengan beragam gelisah yang bertumpuk dalam batin. Bukankah ini mengasyikkan?


***

Sore itu, pada Rabu keempat bulan Februari, saya dan tim KBK: Kak Amie, Kak Alfi, dan juga Kak Rhein telah mempersiapkan diri untuk diskusi rutin KBK melalui video conference di Telegram. 

Tepat pukul 14.05 Kak Alfi mengawali terlebih dahulu dengan menyapa yang hadir. Meski hanya empat orang, ia dengan antusias berbincang satu per satu teman-teman yang akan ikut serta meramaikan KBK sembari juga mendata siapa saja yang akan berkisah buku. 

Tak terasa lima belas menit berjalan dan peserta hanya bertambah empat orang saja. Namun itu tidak mengurangi rasa penasaran dan kegembiraan kami yang menanti cerita-cerita seru.  

Pelahan Kak Rhein mulai membuka diskusi KBK dengan suara lembutnya yang menenangkan. Ia mulai mempersilakan Kak Amalia Meini untuk memulai bercerita tentang buku yang dibawanya. 


On Children

Kak Amalia mendekatkan sebuah buku pada kameranya, terlihat buku bersampul putih pucat cenderung ke abu-abu dengan sedikit di atasnya warna merah hati dan bergambarkan tiga siluet manusia hitam dengan sedikit transparan, yang berjudul On Children dan dua kata di bagian bawah sampul nama pengarangnya Wu Xiaolei. 

Tampak dari sampulnya saja tersimpan misteri berlapis, apalagi Kak Amalia mengatakan bahwa buku On Children bukanlah buku yang berisi tentang hal yang menyenangkan, namun cukup membantunya untuk belajar bagaimana menjadi orangtua yang lebih baik. Pembuka yang memukau. 

Ia menyampaikan juga gambaran besar tentang buku ini bahwa si penulis adalah seorang guru les, bernama Wu Xiaolei. Dia tidak hanya mengajar saja namun juga melakukan pengamatan keluarga murid-muridnya: bagaimana orangtua mengasuh, mendidik, dan mencintai anak-anak mereka. Akan tetapi si penulis ini terjebak dalam berbagai pertanyaan tentang bagaimana sebenarnya hubungan orangtua dan anak, serta pendidikan yang akhirnya dituangkan oleh penulis dalam 10 cerita pendek kisah anak-anak terluka tersebut. 

Kak Amalia menggarisbawahi bahwa kisah-kisah dalam buku ini sebagian besar relate dengan kehidupan sehari-hari, bagaimana pendidikan anak dibebankan si ibu saja serta menekan si anak hingga mereka tidak menjadi diri sendiri dan terluka serta berakhir hal-hal yang tak diinginkan. 

Pembuka dari Kak Amalia mampu menghidupkan suasana sore itu, kami saling menanggapi dan menyanggah serta menceritakan aliran rasa yang kami rasakan setelah mendengarkan berbagai hal pilu dari buku itu. Diskusi makin memanas, hingga pada sebuah kesimpulan oleh Kak Rhein bahwa pentingnya figur ayah pada sebuah pendidikan anak. 


Petualangan Tom Sawyer

Setelah kisah sedih On Children, KBK disuguhi cerita seru dan menarik dari Kak Dip—ia memulai kisah buku dengan bagaimana perjuangannya meminjam buku di perpustakaan negeri Belanda—hingga membuatnya bertanya-tanya sebenarnya buku Mark Twain yang berjudul The Adventure of Tom Sawyer ini ditujukan untuk umur berapa? Dikarenakan ia mencoba meminjam dengan kartu perpus anaknya tidak bisa, padahal jika ditilik dari sampul bukunya sepertinya ini buku anak. 

Perdebatan tentang umur ini sangat alot dan lama sore itu, hingga akhirnya disepakati (jika dilihat dari kisahnya) ini adalah kisah yang ditujukan untuk anak-anak yang sedang tumbuh menuju remaja kurang lebih berumur 10-13 tahun. 

Kak Dip juga bercerita bagaimana Tom yang bandel sekaligus cerdik ini sedang dihukum oleh bibinya untuk mengecat tembok pagar, namun Tom mampu membalikkan keadaan—teman-temannya berlomba-lomba membayar dengan benda-benda sederhana untuk bisa ikut mengecat tembok pagar tersebut.

Kak Dip mempertanyakan kenapa ya, Tom dan teman-temannya selalu gembira dengan hal-hal sederhana dan terkesan tidak relevan? Apakah karena kita terlalu menaikkan sebuah standar dan banyak kemudahan hingga rasa gembira itu menjadi sesuatu yang biasa saja? Ia juga mempertanyakan, apa sebenarnya arti bahagia itu? Kepuasan itu apa? 

Waktu terus bergulir, diskusi sore itu semakin seru. Tanya jawab tentang buku Mark Twain semakin heboh dan berakhir pada sebuah kesimpulan yang ditutup oleh Kak Dip tentang kegelisahannya pada buku klasik dan terjemahannya. Ia menyampaikan bagaimana orang sekarang dengan mudahnya tersinggung tanpa melihat konteks dari sebuah buku tersebut.


Clavis Mundi

Buku berlatar masa lampau sepertinya tidak berhenti pada Kak Dip saja. Kak Oemi Ikbar juga ikut serta meramaikan diskusi sore itu dengan novel yang berdasarkan catatan sejarah Indonesia masa penjajahan. 

Buku itu berjudul Clavis Mundi. Kak Oemi dengan tersenyum bangga menyampaikan jika ia bahagia menjadi bagian Indonesia dengan semua sejarahnya yang ada. 

Ia menyampaikan bahwa buku ini ditulis karena kekhawatiran si penulis, yakni Helmy Yahya beserta Utama Prastha dan Donna Widjajanto, jika kisah Enrique akan diklaim oleh negara tetangga. 

Selain itu, Kak Oemi mengisahkan secara runtut perjalanan panjang Enrique, anak asli Maluku yang ikut serta dan menjadi pendamping setia dalam ekspedisi Armada de Moluccas yang pertama kali mengelilingi dunia dengan pemimpinnya Ferdinand Magellan.

Masih menurut Kak Oemi, cerita ini mengasyikkan karena bisa mengenal sejarah Enrique: bagaimana ia berangkat menjelajah dunia dengan hanya bermodalkan kecerdikan dan kecerdasan, hingga Enrique berhasil berlayar mengelilingi bumi. 

Yang sangat disayangkan oleh Kak Oemi, kisah ini tidak fokus pada karakter Enrique saja tetapi melebar pada kisah lainnya di jaman itu sehingga Enrique tidak terdeskripsikan dengan sempurna. Meski begitu buku ini masih bisa dinikmati dengan baik.


Puya ke Puya

“Ada yang mengenal Faisal Oddang tidak?”

Semuanya terdiam hening, tanpa suara. Teh Shanty dengan suara renyahnya mengisi kesunyian tersebut dengan berbagi siapa penulis Faisal Oddang, dan juga kehebatan si penulis atas keberhasilannya dalam mendeskripsikan budaya Toraja melalui buku Puya ke Puya

Tidak hanya itu, Teh Shanty dengan penuh semangat menceritakan bahwa novel ini berkisah tentang upacara pemakaman seorang pemuka adat di tanah Toraja, bernama Rante Ralla. Karena derajat tinggi Rante Ralla itulah rambu solok harus dilakukan dengan istimewa dengan kerbau belang dan babi berekor-ekor agar sang ayah mampu mencapai puya (surga) dengan mulus. Tapi karena biayanya sangat mahal, sedangkan harta warisan tidak begitu banyak yang ditinggalkan, para tokoh dalam buku ini mengalami konflik batin. Kondisi tersebut berkelindan juga dengan masalah tambang nikel yang memaksa tongkonan (rumah adat Toraja) Rante Ralla harus digusur demi jalan truk menuju tambang. Kemudian muncul masalah cinta dan penjualan bayi-bayi di pohon. Sehingga menjadikan si tokoh utama menjual rumah adat tersebut. 

Teh Shanty menutupnya kisahnya dengan kalimat tanya, “Jadi surga itu apa? Apakah kita masih bisa diterima, jika melakukan perjalanan ke sana dengan cara yang tidak benar?”

Kalimat tanyanya tidak hanya menjadi refleksi saya dan mungkin teman-teman, tetapi juga menimbulkan berbagai pertanyaan-pertanyaan yang menciptakan diskusi asyik seputar adat, pola pikir dan agama. 


***

Awan-awan mendung berkumpul menjadi satu dan membentuk kepulauan. Kilatan-kilatan kecil berlomba-lomba hadir. Rintik-rintik kecil mulai terlihat di mata. Sragen sepertinya akan turun hujan, namun diskusi KBK belum usai. 

Saya sendiri mencoba berbagi tentang sepuluh cerpen terbaik Hadiah sang Bijak terjemahan Hazim Amir dan Astuti Amir. Namun baru setengah jalan cerita saya tentang buku itu, sinyal menghilang, petir menyambar dan mati lampu. Kisah buku yang saya bawa juga terhenti.  

Tetapi seperti apapun kondisinya, diskusi buku tetaplah berlanjut hingga pukul lima sore dan buku-buku dari teman-teman KBK masih terngiang-ngiang dalam kepala serupa slide film. 

Buku membuat saya berjelajah tanpa batas.


Penulis: Isti