Buat banyak orang, jam 14.00 WIB adalah waktu paling enak untuk istirahat atau sekedar merebahkan badan melepaskan penat. Apalagi hari itu panas matahari benar-benar tidak mau berkompromi, ia dengan mudahnya menembus dinding bata dan genting tanah liat yang tampak kokoh–menyengat hingga ubun-ubun. Bahkan angin berhembus dari kipas tidak mampu menghentikan rasa gerah yang mulai menyentuh badan ini. Meski begitu, semangat teman-teman untuk ikut serta Klub Buku KLIP seperti oase di tengah gurun: menyejukkan.

Saya bisa merasakan vibrasi kegembiraan itu bertumpah ruah, walau diskusi KBK hanya melalui video grup telegram. Selalu ada cerita dan hal-hal baru yang bisa menjadi bahan diskusi. Mulai dari dongeng yang banyak unsur sejarah, cerita lucu yang sarat makna, hingga sampai kisah perjalanan dan juga narasi tragis–semua ada di sini. 

Perasaan, pemikiran dan kritikan menjadi satu paduan dalam diskusi KBK siang itu. Diawali dari kak Alfi, kak Shanty, hingga kak Dewi dan saya sendiri–semua memiliki narasi yang memikat.

Saga dari Samudra

Saga dari Samudra yang merupakan karya Ratih Kumala, diceritakan secara apik dan penuh antusias oleh kak Alfi–dia memberikan sudut pandangnya, kelebihan dari buku ini hingga kritikannya yang menjadi catatan saya yaitu peran seorang editor.

Kak Alfi memulai ulasannya dengan sebuah pertanyaan, "kenapa ia memilih buku ini?", lalu ia melanjutkan seperti apa isi buku ini, ia mendeskripsikan dengan detil yakni tentang hidup Nyai Ageng Pinatih yang berubah saat dia menemukan bayi kecil di tengah laut, yang dengan magis menghentikan kapal dagangnya. Bayi ini ia beri nama Jaka Samudra. Kelak, bocah ini tak cuma mengubah hidup ibu angkatnya, lebih dari itu, juga dunia yang disentuhnya; masih menurutnya bahwa buku ini tidak sekedar cerita saja namun juga ada unsur sejarah tanah Jawa pada abad ke-15, dengan penyampaian selayaknya seorang penutur. 

Di akhir reviu nya, kak Alfi juga menambahkan perihal apa kelebihan dan kekurangan fatal dari buku tersebut yang menjadi diskusi berkelanjutan pada pembahasan buku-buku selanjutnya.

Bukan Perawan Maria

Kak Shanty mengulas buku kumpulan cerpen Feby Indirani yang berjudul Bukan Perawan Maria dengan sangat memukau. Dia tidak hanya menyampaikan bagaimana awal tertarik buku tersebut, dan perjalanan buku ini. Tetapi juga hal-hal unik dari setiap cerpen yang ada di dalamnya secara runut. 

Menurutnya 19 cerita pendek yang tersaji adalah refleksi dari si penulis yang seperti mengajak pembacanya untuk menikmati permainan imajinasi yang tidak main-main—Liar dan menggelitik tentang manusia-manusia bumi, yang berupaya mendekatkan diri kepada Sang Khalik. 

Sehingga tidaklah heran jika sore itu semakin membuat saya dan teman-teman terpikat, apalagi dengan gaya berbicara kak Shanty yang memang jelas dan lugas sehingga memberikan efek penasaran. 

Rantau 1 Muara

A. Fuadi adalah salah satu penulis yang berhasil menuliskan novel dengan gaya memoar, sehingga meninggalkan kesan dan ekspetasi pada pembaca lebih tinggi, namun kali ini Kak Dewi berhasil membuat kita semua kembali mempertanyakan step demi step teknik kepenulisan trilogi ataupun semacamnya aagar sebuah karya paling tidak dibaca tuntas oleh pembacanya. 

Kak Dewi semula bercerita sisi bagus dari tulisan A. Fuadi ini, juga poin utama dari novel. Tidak hanya itu, kak Dewi jua menuturkan ia terbawa perasaan sang tokoh utama yang ketika jauh dari kampung halamannya yakni berada di luar negeri–rasa memilki itu menjadi lebih kuat, kemudian dengan pelahan kak Dewi menyambungkan narasi sebelumnya dengan narasi yang ada di novel Rantau 1 Muara kembali. 

Bagaimana kisah Alif ketika bersama istri menjalani kehidupan di Amerika sebagai keluarga baru, berbagai kisah yang menurutnya terlalu tak penting bahkan dibilang seperti ngedumel terlalu banyak porsinya sehingga membuat pembacanya menjadi sedikit berat untuk menyelesaikannya. 

Dari sinilah timbul berbagai perdebatan yang seru dan juga menginspirasi tentang teknik menulis, peran editor dan masih banyak lagi sehingga membuat sore itu semakin menyenangkan. 

Meski pro kontra lumayan lama, namun kak Dewi berhasil membuat kesimpulan yang mmebuat kita semua menjadi catatan pembelajaran dalam berliterasi. 

Smokol

Perdebatan panjang dari kisah Rantau 1 Muara masih bertemu benang merahnya ketika saya memulai mengulas Smokol, kumpulan cerita pendek terbaik pilihan Kompas tahun 2008. 

Awalnya, saya memulai dengan sebuah pernyataan bahwa tema dalam kumcer kompas tahun 2008 adalah tragedi, hingga kemudian saya bercerita tentang cerpen-cerpen memorabel Smokol yakni Ratih Kumala dengan "Rumah Duka", lalu Puthut Ea. Lalu ketika saya mulai menuturkan tentang bagaimana kesulitan saya memahami cerpen Nukila Amal yang berjudul "Smokol", dan dilanjutkan tentang masa cerita pendek memiliki panggung di tahun 2000an; teman-teman mulai saling sambung menyambung diskusi perihal tulisan yang terlalu banyak kiasan tersirat hingga pada tema-tema awal yang sudah didiskusikan sejak awal KBK yaitu peran editor. 

Peran editor ternyata sangat berpengaruh sekali pada menariknya sebuah tulisan, bahkan penulis ternama pun ketika dipertemukan editor buruk maka secara tidak langsung akan mempengaruhi sebuah karya dan itu dapat terasa hingga pada pembaca. 

***

Diskusi panjang tentang editor, media, sastra dan citra itu menjadi ujung Klub Buku KLIP. Berbagai kasus yang saya dan teman-teman KBK bicarakan di dunia kepenulisan benar-benar membuat saya bahagia. Saya tenang dan sangat damai karena ternyata pustaka negeri ini akan selalu hidup sesuai masanya. 

Tiba-tiba saya teringat petuah Tan Malaka, "Selama toko buku itu ada, selama itu pula pustaka akan selalu bisa dibentuk kembali."

Saya mulai membenarkan dengan optimis kalimat tersebut, meski dengan masa dan media yang berbeda. 

***

KLIPers dan sahabat KLIP, jangan lupa ikut juga pada diskusi seru KBK tentang semua buku selanjutnya pada hari Selasa, 24 Oktober 2023 di telegrup KBK.