Saya pernah membaca petuah dari Gola Gong, penulis sekaligus duta baca Indonesia 2021-2025. Dia mengatakan: 

"Jika kamu suka membaca tetapi kamu tidak bisa menulis artinya perlu dipertanyakan kembali proses membacamu"

Saya rasa itu juga yang saya alami, dan mungkin Sahabat KLIP serta KLIPers pernah juga berada dititik tersebut: mempertanyakan kembali proses membaca kita, karena mengalami kesulitan menulis atau writer block dan juga sulit mencerna isi buku dengan baik. Dan bisa jadi kondisi tersebut menjadi alasan kita memulai membaca dengan benar, lalu ikut aktif mengulas buku-buku yang sudah kita baca dalam berbagai media seperti Klub Buku. 

***

Setiap hari Selasa minggu ke empat jam 14.00 WIB, KLIP selalu mengadakan klub buku online melalui videocall grup di telegram. Saya dan beberapa teman sengaja selalu menyediakan waktu untuk mengulas buku-buku favorit kami, ataupun yang baru kami selesaikan. Terkadang sembari menunggu teman-teman lain hadir, kami bertukar kabar atau bergosip tentang dunia menulis, buku dan hal-hal yang terkait literasi. 

Seperti Selasa bulan lalu, Kak Amie menyapa teman-teman yang sudah hadir: bertanya kabar dan lainnya seraya menunggu Kak Risna yang rencananya memang akan mengulas buku di urutan pertama. 

Kami beruntung, hanya menunggu 10 menit saja– kak Risna sudah hadir dan memulai mengulas audiobook Ruwi Meita yang baru diselesaikan, Rumah Lebah

Selang beberapa waktu, disusul kak Tami dengan detil menceritakan novel Pulang dari perasaan kak Tami saat membaca, isinya, hingga pro kontra tahun 98 yang mengaduk-aduk emosi pendengar. 

Ada kak Sinta juga, ia bercerita 2 series buku dongeng terjemahan Korea yang diambil dari dongeng-dongeng yang ada dalam drama Korea It’s Okay to not Be Okay. Tema Korea dan mental health selalu menarik diulik, hingga menimbulkan debat yang alot, baik dari isinya, hubungannya dengan drakor.

Semakin sore, semakin panas. Saya merasa bahagia yang tidak bisa dijelaskan, mendengar dan menyimak klub buku hari itu. Ada saja tema yang dibahas disetiap buku yang diulas. 

Kemudian ada kak Dwi yang ikut turut juga mereview buku Tere Liye, bagaimana perasaannya saat berhasil membeli buku Tere Liye hingga cerita dalam buku tersebut, semua tersampaikan dengan sangat jelas.

Lalu disambung mbak Oemi yang sengaja saya todong untuk ikut berpartisipasi mengulas KBK terakhir di 2023 ini–karena urutan pengulas yakni Kak Amelia, sedang terkendala sinyal. Kak Oemi, seperti biasa, matanya selalu berbinar-binar saat berkisah buku-buku yang dibacanya apalagi karangan Dee Lestari. Yang terakhir, saya juga yang ikut meramaikan klub buku hari itu yakni mengulas buku lawas, Namaku Wage

***

Rumah Lebah

Rumah Lebah, novel thriller, misteri dan fantasi karya Ruwi Meita diulas dengan sangat baik oleh kak Risna. Ia  memulai ceritanya, "... ini aku ndak baca sih, tetapi dengerin–seperti biasa aku dengerin dari Storytel (audiobook)..."

Buku Rumah Lebah ini menurut kak Risna ditulis tahun 2008, yang kemudian dicetak ulang lagi 2023 bertepatan di Ubud Writers Festival tahun ini.

Pelahan kak Risna, mulai mengisahkan isi dari buku ini. Tokoh anak kecil usia 6 tahun yang memiliki obsesi pada ensiklopedia dan suka membacanya secara berurutan dari A sampai Z, ia bernama Mala. 

Mala menurut kak Risna, tidak hanya unik tetapi juga cerdas serta imajinatif. Mala tertarik pada beruang dan ia selalu melihat serta membicarakan 6 orang asing yang ada di rumahnya. Anehnya, 6 orang asing yang diceritakan si tokoh utama dalam novel ini, ada banyak sekali kejanggalan yang tidak masuk akal. Yang membuat pembaca ataupun pendengar audiobook nya penasaran dan tertarik menyelesaikan buku tersebut. 

Hebatnya, kak Risna tidak hanya mengulik tokoh dalam novel satu persatu, tetapi juga mempertanyakan kembali tentang pemilihan judul, lalu keunikan tokoh-tokoh dalam cerita hingga pada pembahasan novel-novel yang bertema serupa. 

Awal yang bagus di siang yang terik, memantik cerita-cerita berkelanjutan tentang buku dan dunia menulis.

 


Pulang

Setelah kak Risna mengulas, urutan selanjutnya adalah kak Tami. Kali ini kak Tami membawa buku yang sangat kritis terhadap kehidupan sosial, sejarah dan politik, yaitu karya Leila S. Chudori berjudul Pulang

Menurut kak Tami, Leila ini penulis yang yang berhasil konsisten membahas detil tentang realita sejarah, kehidupan sosial masyarakat hingga politik seperti novel Laut Bercerita yang laris hingga difilmkan, lalu novel Pulang yang mengalami cetak ulang hingga cetakan ke 18. 

Kak Tami bercerita bagaimana cara Leila menggambarkan kondisi saat itu yang memang mencekam dengan memikat. Bagaimana tokoh utama Dimas yang tidak terlibat langsung dengan gerakan G 30 S PKI mendapatkan perlakuan berbeda dan berdampak panjang. 

Kak Tami melanjutkan bahwa keadaan yang dinarasikan dalam novel tersebut benar-benar terasa sekali pada kehidupan kak Tami dan mungkin sebagian besar masyarakat Indonesia. 

Bagaimana propaganda pemerintah mempertahankan kekuasaannya sampai lapisan bawah. 

Ketakutan, kekhawatiran hingga trigger peristiwa kelam sejarah negeri ini masih bisa dirasakan hingga generasi saya. 


Series Dongeng Its Okay to not be Okay

Siapa yang pernah nonton K-drama It’s Okay to not Be Okay, dimana salah satu tokoh utama dalam drama tersebut bernama Go Moon Young adalah penulis cerita anak dan dia menuliskan cerita anak dengan cara unik–cerita anak dalam drama inilah yang akhirnya oleh penulisnya Jo Yong diterbitkan dalam 5 series.

Pada kesempatan ini, kak Sinta berbagi 2 series yaitu seri 1 dan 2 berjudul Anak Lelaki yang selalu Mimpi Buruk dan Anak Zombie.

Kak Sinta mengawali ulasan dengan pernyataan yang unik, "...saya tidak tahu harus merekomendasikan buku ini kepada siapa, karena ini buku bergambar tapi rate nya 17+ dan isinya itu tidak sampai 30 kalimat.."

Lalu ia melanjutkan bagaimana kronologi buku dongeng ini terbitkan, seperti apa buku ini, bagaimana isi buku ini, serta apa makna dari setiap kalimat dan gambar yang ada dalam buku ini. 

Tidak hanya itu saja, tetapi kak Sinta juga mengeluhkan harga dari buku ini yang lumayan mahal tidak sepadan dengan jumlah kalimat dan halamannya yang sedikit, padahal rate buku ini untuk umur 17+.

Kak Sinta juga menambahkan keluhan yang utama bukan tentang harganya, tetapi ia bingung harus merekomendasikan buku tersebut kepada siapa, karena gambarnya terlalu gore

Pada saat yang bersamaan, saya dan teman-teman sendiri juga tercengang, menyimak ulasan kak Sinta, saya kaget dan tidak tahu bagaimana mengimajinasikan isi buku itu dalam pikiran. Membayangkan gore secara realita dalam otak, sudah membuat saya takut. Perdebatan panjang pro dan kontra menambahkan sensasi panas sore itu.

Namun demikian, pesan buku ini bagus meski dengan cara yang sedikit ngeri.


Yang Telah Lama Pergi

Yang Telah Lama Pergi, adalah salah satu novel terbaru Tere Liye yang juga difavoritkan oleh kak Dwi. 

Kak Dwi bercerita dengan sangat runut, padat dan jelas. Bagaimana kisah novel ini dimulai, lalu ada beberapa hal peristiwa dalam novel yang saling bertaut hingga menemukan benang merah. 

Ini kisah tentang raja perompak yang balas dendam terhadap pemerintahan. Rasa dendam raja perompak tersebut mulai tumbuh setelah ia menemui berbagai peristiwa yang menurutnya tidak adil dalam masa Kerajaan Sriwijaya.  

Selain itu, kak Dwi juga menambahkan hal-hal baru yang di luar kebiasaan Tere Liye dalam novel ini seperti cara penulisan blurb dan lainnya yang unik. Ia jua menyampaikan pula bagaimana ia bisa mendapatkan buku tersebut dan membagikan linknya di grup telegram KBK. 


Kepingan Supernova

Sebenarnya, urutan pengulas selanjutnya adalah kak Amelia–tetapi karena kak Amelia masih terkendala sinyal, saya menodong kak Oemi untuk serta  membagikan buku barunya yang sudah dibacanya yaitu Kepingan Supernova

Menurut kak Oemi, Kepingan Supernova karya Dee Lestari ini dibuat khusus untuk para penggemar Supernova. Dalam buku ini berisikan rangkuman kalimat indah penuh makna yang terdapat pada novel serial Supernova episode 1 hingga 6. 

Selain itu, kak Oemi juga bercerita tentang hebatnya Dee Lestari memanjakan para penggemarnya. Bagaimana teknik marketing yang tetap memanusiakan para penggemar. 


Namaku Wage

Sampai kak Oemi selesai mengulas, kak Amelia masih terkendala sinyal–suaranya masih tidak terdengar. 

Sehingga untuk menutup Klub Buku sore itu, saya ikut turut berpartisipasi mengulas buku yang pernah saya baca dan berkesan. Sebuah buku lawas karya Umar Nur Zain berjudul Namaku Wage

Buku ini saya dapatkan dari perpustakaan baru di sekolah SMP saya dulu. Sebuah buku yang membuat saya jatuh cinta pada membaca dan menulis. 

Namaku Wage, adalah buku yang mengisahkan perjalanan WR. Supratman sejak kecil hingga ia menciptakan lagu Indonesia Raya, sampai ia wafat. 

Umar Nur Zain menurut saya adalah salah satu penulis terbaik, ia tidak hanya menggabungkan sejarah dan fiksi menjadi satu tetapi risetnya juga tidak main-main, sehingga membaca karyanya seperti menonton potongan film panjang yang mengesankan. Saking berkesannya saya terhadap buku ini, hingga merekomendasikan sahabat KLIP dan KLIPers untuk membaca buku ini di Ipusnas. 

***

Semburat merah orange cahya matahari mulai mengintip pelan-pelan di antara lubang-lubang ventilasi rumah. Pertanda hari mulai sore, sedangkan kak Amelia masih belum bisa berbagi langsung karena sinyal buruk, akhirnya ia memutuskan untuk mengulas buku melalui rekaman. Buku yang diceritakannya berjudul Jeda Sejenak. Berikut rekaman kak Amelia, tentang bukunya: 


Waktu mulai menunjukkan pukul 17.00 WIB tepat, saya bersama kak Risna masih saja asyik berdiskusi tentang dunia menulis, apa yang terjadi di dalam dunia sastra Indonesia serta masih banyak lagi. Selalu menyenangkan bercengkerama dan berkisah tentang dunia buku. Persis petuah Ali bin Abi Thalib,

“Siapapun yang terhibur dengan buku-buku, kebahagiaan tak kan sirna dari dirinya”