Hari mulai siang, jalanan depan rumah terlihat sepi dan hening. Matahari sepertinya memang tidak suka menampakkan diri, ia memilih bersembunyi di balik awan-awan hitam di langit. Sepertinya mau hujan lagi di Sragen. Beberapa hari ini cuaca memang tidak ramah di kota ini. Setelah 7 tahun, Sragen kembali lagi menjadi kota yang terdampak banjir setiap hari di berbagai wilayah. 

Meski jantung berdegup kencang - khawatir hujan lebat seperti hari sebelumnya, saya ingat bahwa hari ini adalah Klub Buku KLIP pertama kalinya di tahun 2024. Sembari menghirup napas yang panjang untuk menghilangkan semua rasa khawatir, saya membuka gadget dan menjadwalkan tele video. Satu jam dari sekarang jam 13.00– Klub Buku KLIP akan dimulai.  

Tepat di pukul 14.00 saya melihat Kak Amie, Kak Shanty dan juga kak Tami sudah hadir dan mulai menyapa di KBK hari itu, pelahan-lahan mulai berdatangan teman-teman klub yang lainnya. Mereka sama dengan saya, dalam kondisi seperti apapun hari ini, Klub Buku selalu menjadi rumah terbaik untuk mendapatkan energi positif dan kebahagiaan. Karena di sini, kita semua selalu bertukar cerita tentang buku, dan literasi. 

Di mulai dari Kak Shanty yang berkisah tentang reportase perjalanan unik dan membuka pemikiran kita tentang dunia yang berbeda dari Iqbal Aji Daryono. Lalu ada Kak Citra yang mengulas dengan sangat detail sebuah novel karya Tere Liye. Selain itu, Kak Tami juga ikut berbagi buku A Reason I Stay, sebuah antologi yang yang ditulis oleh KLIP-ers, yang digawangi Nur Indah Fitriah. Kemudian juga ada Kak Alfi yang bercerita dengan ciamik novel terjemahan Orang Asing karya Albert Camus dan terakhir ditutup oleh ulasan Kak Risna tentang novel berjudul Selendang Merah dari Maria S. Sardjono. 

***

Lelaki Sunni di Kota Syiah

“Awalnya hanya mengikuti FB Iqbal Aji Daryono, ia cerita keinginan dia… dan ternyata ia beneran ke sana, dan dibuat bukunya.”

Begitu Kak Shanty memulai ulasannya siang itu. ia menceritakan sebuah buku reportase Iqbal Aji Daryono yang berjudul Lelaki Sunni di Kota Syiah. Buku yang dengan ketebalan 180-an halaman ini, berisi foto dan juga catatan Iqbal mengenai apa yang dirasakan lima inderanya selama perjalanan dari kota Najaf ke Karbala.

Ini merupakan ritual tahunan muslim Syiah setelah peristiwa Karbala, jutaan muslim Syiah di dunia berbondong-bondong, berjalan dengan tertib dan damai untuk menjadi tamu keluarga Nabi Muhammad Saw dengan melakukan perjalanan tersebut (dari Najaf ke Karbala, Irak). Sebuah peringatan atas syahidnya Sayidina Husain, atau disebut dengan ziarah arba’in. 

Menurut Kak Shanty, Iqbal tidak hanya menceritakan bagaimana ritualnya saja, tetapi juga mencatat berbagai respon yang ia dapatkan selama perjalanan. Bagaimana sambutan mereka terhadap orang yang berbeda dan masih banyak lagi, sehingga secara tidak langsung buku catatan reportase Iqbal tersebut dapat menjawab berbagai pertanyaan tentang Syi‘ah yang sering diajukan oleh masyarakat Muslim Indonesia yang mayoritas bermazhab Sunni.

Selain itu, Kak Shanty juga bercerita tentang berbagai masalah Syiah yang ada di negeri ini dari tahun ke tahun dan ziarah-ziarah yang ada. Ulasan Kak Shanty mengundang berbagai opini sehingga diskusi siang semakin seru serta  menciptakan banyak perspektif baru. 


Teruslah Bodoh Jangan Pintar

Setelah Kak Shanty, ada Kak Citra Anggita yang juga dengan sangat detail menceritakan buku Tere Liye berjudul Teruslah Bodoh, Jangan Pintar

Novel yang terinspirasi dari berbagai kisah nyata, yang kemudian dijadikan fiksi ini, baru saja diterbitkan pada 1 Februari 2024 lalu oleh Sabakgrip. Kak Citra mendapatkan buku tersebut tepat saat Pemilu, seharga 180.000 untuk 3 buku karya Tere Liye. 

Novel ini menceritakan keseluruhan proses sidang yang berjalan dengan durasi lebih dari 1 bulan. Para aktivis lingkungan berjuang dengan sumber daya yang seadanya. Di satu sisi, si perusahaan tambang tersebut menyewa pengacara terbaik di Indonesia untuk memastikan bahwa dia memenangkan konsesi ini dan bisa melenggang untuk mengeruk habis sumber daya di Indonesia tanpa memedulikan peraturan yang ada. Kita pun diajak flashback oleh “saksi” yang hadir di setiap persidangan dimana saksi akan menceritakan secara detail apa saja yang telah ia alami dan apa yang telah perusahaan tersebut perbuat kepadanya, keluarganya dan lingkungannya. Perasaan yang saya rasakan campur aduk: marah, benci, kecewa, sedih dan hancur. 

Berbagai data dari kasus yang diceritakan Tere Liye ini, menurut Kak Citra sendiri sangat mirip dengan berbagai fakta yang terjadi di Indonesia, bahkan di daerahnya sendiri yakni Kalimantan– hanya yang membedakan adalah nama tokoh, alurnya dan juga data-data yang disajikan lebih detil. Sehingga pembaca dibuat penasaran untuk segera menyelesaikannya sesegera mungkin.

Kak Citra mengakui bahwa ia berhasil menyelesaikan novel ini hanya dalam waktu 3 hari, ia juga menambahkan jika novel ini juga sudah direview oleh Ernest Prakasa dan menjadi bahan diskusi di media sosial. 

Novel yang sebenarnya bisa ditebak bagaimana kelanjutan kisah akhir para tokohnya, karena terlalu dekat dengan realita, namun menurut kak Citra paling tidak kita belajar dari kisah-kisah di dalamnya. 


A Reason I Stay

Tepat di pukul 15.15, Kak Tami juga berbagi buku berjudul A Reason I Stay. Ia mendapatkan hadiah buku itu dari LIIP saat kegiatan literasi yang diisi oleh Kak Shanty.  

A Reason I Stay merupakan antologi yang ditulis oleh teman-teman KLIP-ers yang digawangi oleh Kak Nur Indah Fitriah dan kawan-kawan. 

Buku ini menceritakan 10 kisah yang terinspirasi dari kejadian-kejadian dalam pernikahan seperti bagaimana mempertahankan pernikahan, bagaimana memulai membangun bahtera rumah tangga, kemudian juga tentang ujian-ujian pernikahan. Dengan mengetahui masa-masa itu pernah ada, itu akan mempersempit rentang waktu dalam beradaptasi. Selain itu, cerita dalam buku ini juga ada yang mengisahkan tentang berbagai alasan-alasan yang membuat mereka selalu bertahan.

Kak Tami tidak sekedar mengulas saja, tapi juga membuka ruang diskusi tentang perjalanan pernikahan zaman sekarang dan dulu, yang tentu banyak sekali perbedaan masalah dan penanganannya. 

Orang Asing

Meski sore mulai menyapa, tetapi semangat teman-teman dalam berdiskusi buku semakin hangat. Ada banyak cerita dan perdebatan yang membuat suasana semakin menyenangkan. 

Kak Alfi kali ini mengulas novel terjemahan berjudul Orang Asing. Judul aslinya L'Estranger dan diterjemahkan oleh Aksanti Djoko S. Kak Alfi mulai menceritakan bagaimana novel itu dimulai, seperti apa kisahnya secara ringkas, kesimpulan kemungkinan kenapa diberi judul Orang Asing, dan kemudian ditutup dengan pernyataan bahwa buku ini merupakan salah satu buku yang menjadi pegangan wajib di sekolah-sekolah Prancis.

Novel dibuka dengan berita kematian ibu Mersault, sang tokoh utama. Mersault diceritakan sebagai orang yang merasa tidak "terkoneksi" dengan kehidupan. Dia menganggap bahwa dalam hidup, apa yang terjadi memang wajar terjadi, dan dia menjalani semuanya dengan perasaan wajar. Lalu dalam perjalanannya, ternyata pandangannya ini mendatangkan masalah tersendiri untuknya. Kematian ibunya dan sikap tak acuhnya dalam pemakaman ibunya kembali diungkit ketika dia harus kembali berurusan dengan kematian. Dan kali ini, Mersault dianggap bersalah.

Menurut Kak Alfi, pemikiran si tokoh utama dan si penulis itu sendiri yang berbeda dan unik inilah yang mungkin menjadi faktor kenapa novel ini lebih pas diterjemahkan dari L'Estranger menjadi 'Orang Asing'. 

Novel karya Albert Camus ini meski ini buku lawas dengan gaya bahasa yang modern sehingga ia masih bisa dinikmati hingga hari ini dan juga tidak eksplisit. Bahkan di Prancis karyanya menjadi salah satu ujian di sekolah-sekolah. Hanya saja yang sangat disayangkan, ada beberapa terjemahan yang mungkin kata tersebut sudah tidak pas digunakan saat ini karena memberikan makna yang berbeda. 

Selendang Merah

Pengulas terakhir hari itu, Kak Risna. Ia dengan sangat piawai menceritakan sebuah novel lawas karya Maria S. Sardjono berjudul Selendang Merah.

Kak Risna memulai ceritanya tentang betapa hebatnya si penulis yang selalu berhasil mengaduk-aduk emosi si pembaca dengan tokoh utama yang seringkali menyebalkan, gaya bahasa yang selalu membuat penasaran akan kelanjutannya.  Meski konfliknya menurutnya berputar di satu tempat saja. 

Kisah diawali dari Miranda yang mendapatkan kabar bahwa anaknya sakit dan membutuhkan donor darah, sehingga Miranda harus menghubungi laki-laki dari masa lalunya yang telah menghamilinya yaitu Abimanyu. Namun justru pertemuan inilah awal dari akar kesalahan yang sama dari masa lalu yang akan membuat cerita dalam novel ini berputar di satu inti masalah yang mereka sendiri tidak bisa menyelesaikan dengan baik. Ditambah dengan tokoh si Abimanyu yang selalu mencari-cari alasan atas nama cinta. kak Risna juga menambahkan kebodohan lainnya yakni ending yang aneh dan tidak masuk akal. 

Pada akhirnya meski menurut Kak Risna cerita dalam novel ini adalah sinetron banget, tetapi karena gaya bahasa yang digunakan penulis membuatnya tidak berhenti terus menyelesaikannya hingga akhir. 























***


Meski waktu masih menunjukkan pukul 16.40, keseruan dari kelanjutan ulasan novel Selendang Merah masih berlanjut hingga ke kisah-kisah buku yang sama. Tentu diskusi seperti inilah yang selalu ditunggu, berkabar tentang buku-buku yang unik, lalu dunia para penulis hingga pada kisah-kisah lainnya di dunia literasi. 

Gerimis mulai terdengar pelahan, sepertinya akan hujan deras lagi. Namun meski begitu saya merasa hangat sekali. Karena rumah ini, yaitu Klub Buku KLIP selalu memberikan ruang kepada saya dan mungkin teman-teman lainnya untuk ikut merasakan kenyamanan.

***

KLIP-ers dan sahabat KLIP, KBK di bulan Maret libur dulu; jangan lupa diskusi seru KBK tentang semua buku selanjutnya pada hari Selasa minggu ke 4 bulan April di telegrup KBK.