Matahari hampir tepat di atas kepala. Bayangan benda-benda di sekeliling saya menjadi lebih pendek. Suhu udara cukup panas dan keringat mulai berjatuhan membasahi punggung. Suara mesin kendaraan, percakapan orang, dan deru kipas angin terdengar dari kejauhan. Mungkin banyak orang yang memilih beristirahat setelah makan siang atau tidur sejenak di dalam ruangan untuk menghindari panas. Namun, KBK tetap hadir. Ini karena KBK tidak hanya sekedar pertemuan biasa, tetapi juga rumah yang menyejukkan bagi para pecinta buku.


Hari itu, Selasa 23 April 2024, tiga hari setelah Peringatan hari Kartini. Sebagian besar anggota KLIP berbagi tentang buku yang bertemakan perempuan; baik itu fiksi ataupun nonfiksi. Saya mengawali dengan membagikan keseruan tentang buku yang berisi catatan-catatan Rouli sebagai pelajar, istri, dan seorang ibu. Ada juga Kak Oemi yang menceritakan novel Musashi dengan sangat detail. Kemudian ada pula Kak Tami yang berkisah tentang novel yang memperjuangkan perempuan. Terakhir, ada Kak Dewi yang membagikan pengalamannya membaca buku nonfiksi tentang dunia perempuan.


Kami tidak hanya bercerita, tetapi juga berdiskusi sengit tentang buku dan penulisnya. Sesekali diselingi gurauan kecil yang menghangatkan suasana. Bahkan kami mengkritik beberapa hal yang terkait dengan lingkungan, buku, dan penulis. 


Apakah Aku Ibu yang Baik


Saya sengaja memilih membagikan buku karya Rouli Esther Pasaribu yang berjudul Apakah Aku Ibu yang Baik pada KBK hari itu. Buku ini adalah kumpulan catatan Rouli tentang dirinya sebagai pelajar, istri dan ibu. Semua kegelisahannya tercurahkan dalam catatan tersebut, termasuk tentang bapak rumah tangga. 


Saya mengawali cerita tentang siapa Rouli, mengapa saya membeli bukunya, dan bagaimana isi buku ini. Perdebatan-perdebatan yang ada dalam buku serta referensinya saya sampaikan secara singkat. Tidak hanya itu, pernyataan dan pertanyaan yang unik dari Rouli pun saya ceritakan sehingga membangkitkan diskusi yang seru siang itu. 


Pada kenyataannya, semua catatan Rouli pada bukunya benar-benar sangat sesuai dengan kondisi perempuan saat ini sehingga kami tiba pada kesimpulan tentang standar seorang perempuan yang baik, istri yang baik, dan ibu yang baik. Standar yang terkadang sudah digeneralisasi sehingga membuat kita memaksakan diri mengikutinya.


Musashi


Setelah perdebatan panas buku Rouli, Kak Oemi berbagi tentang sebuah buku fiksi yang berjudul Musashi. Menurutnya, buku ini sangat tebal. Namun, tetap saja Kak Oemi bisa menyelesaikannya dan mengisahkan buku itu secara detail. 


Buku yang ditulis oleh Eiji Yoshikawa dengan total 1.247 halaman ini terdiri dari 7 jilid, diterbitkan oleh Gramedia dan merupakan salah satu buku klasik di Jepang.  Kak Oemi beruntung karena ketika membeli buku ini sudah dalam bentuk bundling, dari jilid kesatu hingga ketujuh. Menurutnya, buku ini berkisah tentang Takezo (yang kemudian mengubah namanya menjadi Musashi) dan sahabatnya, Matahachi. Mereka beruntung telah selamat dari perang Sekigahara, perang yang menentukan kemenangan Tokugawa. Takezo dan Matahachi yang sekarat ditolong oleh seorang janda dan anak perempuannya yang menjual moxa (sejenis obat obatan).


Takezo bersama Matahachi berhadapan dengan para bandit gunung, yang berakhir dengan matinya pemimpin para bandit di tangan Takezo. Setelah kejadian itu, Takezo dan Matahachi mabuk-mabukan hingga rebah di tempat tidur. Ketika Takezo bangun, sang janda dan anaknya—serta Matahachi—telah menghilang. Takezo, dengan marahnya, memaki Matahachi. Di sinilah semua cerita bermula.

Kak Oemi tidak hanya menyoroti tentang garis besar cerita, tetapi juga tentang budaya yang dinarasikan si penulis. Budaya yang ditampilkan begitu lengkap dan detail sehingga membuat Kak Oemi menjadi semakin tahu tentang Jepang zaman dahulu.


Perempuan yang Menunggu di Lorong Menuju Laut


“Dian Purnomo ini adalah penulis yang cukup gencar terhadap isu-isu perempuan dan anak,” ucap kak Tami mengawali reviu siang itu. 


Buku karya Dian Purnomo yang ke-10 itu baru saja terbit. Berjudul Perempuan yang Menungggu di Lorong Menuju Laut, yang menceritakan pengalaman karakter Mirah dalam membersamai perjuangan rakyat Pulau Sangihe, Sulawesi Utara, melawan korporasi penambang. Sebuah pulau di atas Kota Manado yang mungkin hanya terlihat sebagai bercak di peta, tetapi menyimpan kekayaan alam yang begitu nyata. Mutiara yang diinginkan oleh mereka, para penguasa. 


Kak Tami tidak hanya mengulas isi cerita saja, tetapi juga menambahkan sudut pandangnya yang membenarkan apa yang dilakukan karakter utama. Selain itu, Kak Tami juga merasa miris dan khawatir dengan sang karakter karena kedudukan karakter sebagai perempuan yang sering kali mendapatkan perlakuan kejam, apalagi sebagai perempuan pejuang.

Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan oleh beberapa teman siang itu, diskusi semakin hangat. Banyak sekali beberapa topik di luar cerita yang memiliki kesamaan tema dan menjadi pembahasan kami.  


Muslimah, Perempuan Pembaru Keagamaan Reformis


KBK hari itu diakhiri dengan reviu dari Kak Dewi yang membahas buku nonfiksi karya Siti Musda Mulia yang berjudul Muslimah, Perempuan Pembaru Keagamaan Reformis.


Kak Dewi mengawali dengan mengapa ia memilih buku ini, bagaimana ia menemukan buku ini, alasan-alasan mengapa buku ini harus dibaca serta saran agar tidak terjebak dengan pemikiran sempit ketika membacanya. Buku ini membahas tuntas mengenai muslimah yang reformis, yang amat peduli pada penegakan demokrasi, pluralisme, keadilan, dan kesetaraan di ruang publik. Contohnya seperti persoalan gaji perempuan dalam bekerja, keikutsertaan peran perempuan dalam pembuatan undang-undang, serta pendidikan perempuan. 


Kak Dewi juga menambahi beberapa contoh sederhana ketika menceritakan beberapa tema dalam buku ini. Beragam rasa ingin tahu teman-teman juga dijawab dengan baik bahkan menjadi tema pembahasan sore itu.


***

Matahari pun mulai merendah di langit, memancarkan sinar keemasan yang lembut. Udara mulai terasa sejuk disertai sedikit angin sepoi yang memberikan kedamaian. Penanda waktu di layar gadget menunjukkan pukul 17.00. Diskusi sore makin hangat dan menyenangkan. Tidak sekedar bergosip dunia penulis saja, tetapi juga tentang perpustakaan dan juga tips-tips menulis yang memikat. Kami saling bersahutan untuk menimpali satu sama lain. 


Tak terasa ruangan semakin gelap, lima menit lagi waktu adzan Magrib berkumandang. Magrib itu, kami menyudahi KBK dengan senyuman yang lebar bahagia. Ya, begitulah KBK, akan selalu menjadi rumah yang hangat dalam menyambut para pecinta buku.

*** 


Klipers dan sahabat Klip, jangan lupa untuk ikut juga KBK edisi selanjutnya pada Selasa, 28 Mei 2024 pukul 14.00 WIB hingga selesai.